Senin, 11 Agustus 2008

Orang-Orang di Sekitar Aphip

Dalam kehidupan Aphip yang kadang penuh warna dan kadang buram kayak salah satu jenis kertas potokopian ini, ada banyak sekali oknum-oknum di sekitarnya yang ikut serta mewarnai (gambar anak TK, kali!) hari-harinya. Pada dasarnya, oknum-oknum tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar, yaitu mereka yang berhubungan dengan Aphip karena darah, dan yang kedua adalah mereka yang berhubungan karena takdir Tuhan Yang Maha Esa.

1. Mereka yang berhubungan darah dengan Aphip

a. Ibunda tercinta, beliau ini adalah sosok perempuan yang menurut saya paling tangguh sedunia. Walaupun badannya kecil, ibu saya itu kuat banget loh. Dan walaupun mukanya lembut dan sering senyum, tapi kalau sudah maunya, wiiiih, jangan harap bisa lolos. Pintar masak dan nggak pernah mau kompromi kalau soal ibadah dan kedisiplinan. Makanya, setiap kali saya pulang, saya pasti digembleng abis-abisan. Kalau pagi bangunnya gak boleh telat, selalu dibangunin subuh-subuh buat sholat, nggak lupa banguninnya pake bawa gayung yang diisi air, dengan ancaman saya bakalan disiram kalau nggak buruan bangun (saya pernah sekali kena), siang sama malem gak boleh tidur dulu kalo belum sholat dhuhur sama isya. Pokoknya ketat banget deh, biarpun nyuruhnya halus-halus maksa. Selain itu, Ibu saya adalah seorang manusia kontradiktif. Hal ini saya temukan bersamaan dengan fenomena The Changcuters. Mengapa demikian? Ceritanya begini, waktu awal-awal kemuculan grup band itu, ibu saya berkomentar sedikit sengak seperti ini, "Opo ae seh iku? Dandanane kayak jamane Masmu sik ngompol!" yang terjemahan bebasnya kira-kira, "Dandanan The Changcuters kayak jamannya Mas saya masih suka ngompol!"
Saya, yang bukan penggemar the Changcuters, mengambil kesimpulan brilian: ibu saya gak suka sama band itu. Apakah kesimpulan saya benar??
Ternyata tidak!! Sejak komentar yang sedikit hiperbolis itu, saya mendapati bahwa ibu saya semakin sering menonton acara-acara yang menampilkan the Changcuters. Tiap kali nonton tipi dan ganti channel, kalau ada Changcuters pasti langsung ditonton, dan gak ada yang boleh ganti-ganti channel. Tentu acara nontonnya ini dibarengi dengan lontaran komentar-komentar yang nggak kalah sengak dengan komentar sesi pertama tadi. Mencaci, tapi ya ditonton. Menghina, tapi nggak mau ketinggalan. Bahkan pernah ibu saya sambil mencuci piring menyenandungkan 'I Love You Bibeh'.
Itulah Ibu saya, manusia yang sangat kontradiktif.

b. Kakak perempuan saya, sekarang Mbak saya ini sudah ada di kalimantan bersama suami dan anak perempuannya yang imut. Dulu waktu masih belum kawin, setiap kali tidur bareng saya, kalau paginya ibu sudah mulai beraksi dengan gayung mautnya, saya sama Mbak saya pasti kompakan narik selimut tinggi-tinggi dan mempertahankannya mati-matian sebagai benteng pertahanan dari serangan air gayungnya ibu. Sekarang setelah jauhan, dia sering kirim pulsa buat saya, dan kalo telepon, pasti rebutan sama anaknya. Dulu waktu Mbak saya masih kecil, di tipi ada iklan shampoo yang ceritanya tentang seorang cewek yang keramas sembari nyanyi-nyanyi la-la-la gitu. Suatu hari, Mbak saya ngilang entah kemana. Selidik punya si didik, bapak saya nemuin oknum yang ngilang itu lagi di kamar mandi, basah kuyub karena mandi dengan baju lengkap. Pas ditanyain, Mbak saya dengan lugu dan polosnya menjawab, "Kenapa? Saya lagi lalalala,"
Sangat menakjubkan bagaimana tayangan di televisi mempengaruhi pola pikir anak.

c. Abang saya. Dari kedua kakak saya, Mas saya inilah yang paling akrab sama saya, nggak tau kenapa. Saking akrabnya, dulu saya sering berantem sama dia. Berantemnya seru banget, lagi. Pake banting-bantingan ala smackdown segala. Kaki saya pernah keseleo gara-gara dibanting sama Mas saya, sampai-sampai ibu saya marah banget dan ngunciin Mas saya di kamar mandi. Mas saya ini juga jahilnya gak ketulungan. Udah tau saya takut banget sama kucing, tiap kali ada kucing pasti malah nangkepin dan main dilempar-lempar ke arah saya. Bahkan pernah punggung saya ditemplokin kucing sampai saya nangis hebat. Habisnya, kucing itu nggak mau lepas biarpun saya udah loncat-loncat kayak kesurupan jin iprit. Betenya, udah tau saya nangis-nangis bombay dan jerit-jerit heboh kayak gitu, Mas saya malah ketawa-ketawa kayak orang gila. Sampai saat ini saya masih suka dendam kalau liat kucing lewat.
Mas saya ini juga punya riwayat asmara yang agak-agak dramatis, mirip banget sama cerita sinetron (Rasain, ceritamu tak bongkar semua, Hahahahaha!!). Alkisah, Mas saya pacaran sama Mbak W, tetangga yang rumahnya gak terlalu deket dari rumah ibu saya. Mereka serius banget, bahkan sudah mikir mau ke pelaminan segala. Tapi (ini dia yang kayak sinetron), orangtu si Mbak W gak setuju sama Mas saya, alasannya gak logis dan sangat primitif: weton lahir Mas saya gak cocok sama weton lahir si Mbak W, jadi nanti kalo berumahtangga gak bakalan langgeng, cekcok terus, gak ada harmonis-harmonisnya, blablabla. Apakah mereka berdua menyerah??? Tentu tidak!! Mereka kemudian merencanakan suatu tindakan drastis yang kayaknya plek menjiplak dari skenario sinetron terbaru di tipi: kawin lari.
Seru banget ceritanya. Mbak W diajak menghadap ke ibu dan Mbak saya, dan dihadapan beliau-beliau ini, Mbak W menangis terisak-isak dan bilang, kalau bukan sama Mas saya, dia nggak mau kawin (Ceilee.... kayaknya si Mbak W ini penderita rabun dekat). Dan disusunlah sebuah rencana besar yang ngalahin rencana perang Pangeran Diponegoro. Mas dan Mbak W akan mengungsi ke suatu kota (sori, saya lupa) untuk minta perlindungan kepada seorang Kyai yang juga adalah pembimbing spiritual mereka (sekarang saya tahu darimana datangnya tren itu di kalangan seleb), sementara salah seorang saudara Mbak W yang bersekutu dengan mereka akan mengambilkan pakaian-pakaian Mbak W untuk kemudian dikirimkan ke kediaman sang guru spiritual. Tentang bagaimana cara mengambil biar nggak dicurigai ortu Mbak W, kapan dan siapa yang mengirim persandangan tersebut serta kode-kode rahasia yang diperlukan juga sudah dipikirkan masak-masak. Pokoknya rencananya mateng banget. Bahkan Mas saya sudah bilang seperti ini ke ibu saya, "Jadi bu, nanti kalau memang mentok nggak ada jalan lain, ya terpaksa kita langsung merit disana, dan mungkin gak bakalan balik ke sini lagi." Gimana ibu saya gak langsung mewek bombay denger kata-kata itu? Pas saya tanya ke Mbak saya , "Sampeyan juga nangis, Mbak?" (Saya nggak berada di rumah pas peristiwa ini terjadi, sial), Mbak saya dengan penuh harga diri berkata, "Ya nggak, lah. Saya cuma kelilipan."
Ironisnya, rencana yang sudah tersusun matang dan apik itu ternyata gak sampai terlaksana, karena sesuatu yang benar-benar antiklimaks: ortu Mbak W akhirnya menyetujui hubungan mereka berdua.
Saya jadi mengerti kenapa para penulis skenario cenderung mendramatisasi dan meng-hiperbolisasi cerita yang mereka bikin: karena kenyataan kadang-kadang tidak terlalu menarik.

d. Pakde dan Bude, dengan siapa saya tinggal sejak saya ABG. Mereka berdua adalah sosok-sosok yang nggak kalah pentingnya dalam sketsa kehidupan saya. Kalau disingkat, mereka berdua adalah pasangan yang sangat kontradiktif (kayaknya saya seneng banget pake kata ini ya), karena Pakde saya adalah manusia teori, sementara Bude saya adalah seorang praktisi sejati. Pakde saya seorang profesor dan guru besar di sebuah universitas, dan mungkin karena terlalu tinggi level kejeniusannya itulah, kadang suka nggak nyambung kalau ngomong masalah hal remeh temeh, dan semuanya harus dirasionalisasi dan di-teoritis terlebih dahulu. Semua hal bagi Pakde saya harus ada hitam di atas putih, harus ada prinsip dasarnya, harus ada dasar teorinya, blablabla. Tapi kadang secara mengejutkan Pakde saya bisa melontarkan ucapan yang agak lucu. Misalnya waktu Pakde bilang, "Tau gak, Ibu Kartini kan punya nama lain, lho." dan Bude menyahut, "Apa?" , Pakde dengan sok polosnya menjawab, "Harum,"
Buat yang gak ngerti, cobalah menyanyikan lagu ibu kita kartini.
Jayus, ya? Itulah Pakde saya.
Sementara Bude, seorang praktisi sejati yang nggak mau tahu masalah teori segala macem. Semua hal harus langsung dipraktekkan, habis perkara. Gak perlu nunggu surat penetapan keluar untuk melakukan hal apapun--seperti yang dianut oleh suaminya tercinta. Pernah pas saya sama Bude mau meletakkan galon yang isinya penuh ke atas dispenser, Pakde dengan baik hati dan sikap riang berkata, "Sini saya bantu,", Bude dengan kalem dan tak acuh menjawab, "Nggak usah, nanti kalau Papa bantuin malah kelamaan, nunggu Papa selesai menganalisis dan menyusun rumusan masalah dulu. Sana Papa duduk yang tenang aja, bantuin aja pake doa!"
Itulah Bude saya.

2. Mereka yang berhubungan karena Takdir Tuhan Yang Maha Esa

Untuk masalah bagian yang ini, karena agak banyak, disambung lain kali aja ya.....

Novelku Lagi (Sambungannya)

“Kenapa kamu telat?”

Ini sudah ke-empat kalinya saya ditanyai seperti itu, oleh empat orang yang berbeda. Yang pertama, tentu oleh Pak Satpam terhormat, yang mengajukan pertanyaan itu sebagai aksesoris dari ceramah gratis selama 10 menit yang dengan baik hatinya dihibahkan kepada saya. Yang kedua adalah Pak Pri, guru tatib yang dioperi oleh Pak Satpam. Berikutnya Bu Dyah, guru fisika super killer yang apesnya lagi ngajar di kelas saya. Dan yang terakhir adalah Nevin, teman sebangku saya—yang bego bangetnya pake nanya segala padahal dia (dan seluruh kelas) dengar jelas waktu saya dibentak-bentak dan diinterogasi di depan kelas.

Waktu ditanyai Pak Satpam, jawaban saya masih sangat mendetail berdasarkan kronologis, lengkap dengan adegan ala film Speed di dalam angkot. Beranjak ke Pak Pri, jawaban sudah saya revisi sedikit. Beralih ke Bu Dyah, jawaban semakin padat dan ringkas. Sampai di Nevin, jawaban yang saya berikan tinggal,

“Saya ngangkot.”

Nevin itu teman saya sejak masih SD. Dari SD sampai sekarang saya selalu satu sekolah, satu kelas, dan satu bangku dengan cowok itu. Saya punya kecurigaan tersendiri kalau Nevin memang sengaja membuntuti saya. Habis, siapa lagi yang mau temenan sama orang berpenampakan kayak terminal gitu selain saya? Walaupun sejujurnya saya sendiri lama-lama bosan juga tiap hari liat Nevin selama hampir 10 tahun.

“Si Mogi bikin ulah lagi, ya?” tanya Nevin. Dia baru berani nanya-nanya ke saya setelah jam istirahat, setelah terbebas dari Bu Dyah dan Bu Niken—guru bahasa Inggris saingan bawelnya Bu Dyah yang ngajar setelah Fisika.

Yang dimaksud Mogi oleh Nevin adalah mobil VW Combi bututnya papi, yang suka ngadat seenaknya. Mogi singkatan dari Mogok Lagi, saya yang kasih nama. Papi agak nggak rela dengan nama itu.

“Nggak juga, saya ngangkot soalnya papi pergi. Mana taunya pas saya abis kesiangan, lagi.”

Jam istirahat seperti itu, biasanya saya jarang makan di kantin. Tapi berhubung perut saya sejak kemarin sore belum keisi apapun kecuali selembar roti yang-secara-mencurigakan-sepertinya-sudah-bulukan tadi pagi, maka terpaksa saya makan di kantin. Saya merogoh saku saya dan mendapati dua lembar uang seribuan—cukup buat transport pulang tapi jelas nggak cukup buat makan. Saya mengerang. Saya lupa ngambil uang di bawah kasur papi—lokasi tetap tempat papi naruh uang saku tiap kali pergi. Sial. Alamat kelaperan, nih.

Saya noleh ke arah Nevin, “Vin, traktir saya bakso, dong.”

Nevin melirik tak acuh, “Ngutang,”

“Pelit.”

“Matrre.”

“Biarin.”

Tapi setelah saya paksa-paksa, akhirnya Nevin rela juga nraktir saya semangkuk bakso di kantin. Lumayan buat ganjal perut. Saya sudah menduga kalau Nevin nggak bakalan tega ngebiarin saya kelaperan. Walaupun tampangnya kayaknya akrab dengan kekerasan gitu, tapi dalemnya lembek kayak agar-agar.

Di kantin, akibat kapasitas kantin yang overcrowded, saya dan Nevin terpaksa duduk semeja dengan segerombolan cewek-cewek berisik tukang gosip yang setelah diteliti lebih lanjut, ternyata dua diantaranya adalah teman sekelas saya, Nisa dan Iin. Tidak bisa dipungkiri lagi, setiap sepuluh menit sekali Nevin mengernyit kayak kupingnya dibor, karena selama selang waktu itulah cewek-cewek itu rame secara berkala.

“Itu siapa sih, Vin?” tanya saya setelah cewek-cewek itu sedemikian histeris hanya karena seorang cowok melenggang di depan meja kami. Paling nggak, saya menduga cowok itulah penyebab kehisterisan mereka, dan bukan karena salah satu dari cewek itu nemuin kecoak di makanannya.

“Kamu nggak salah nanya ke saya?” Nevin balik nanya sebel.

“Oh, iya.” kata saya nyadarin, sebelum berbalik ke Nisa di sebelah saya dan menanyakan hal yang sama.

“Ya ampun, Ariel! Kamu selama ini ngumpet dimana sih, kok hal kayak gini aja nggak tahu? Kelamaan di kamar mandi, ya?”

Saya manyun oleh komentar sok tahu itu, “Jawab aja kenapa, sih?”

“Itu tadi Karan, tau. Anak baru di IPA-2, pindahan dari Jakarta. Ganteng banget ya? Cowok manapun lewat, deh. Apalagi idola kamu si ...... siapa tuh? Samuel-nya AFI Junior, ya?”

“Enak aja!”

Nevin mencolek bahu saya, “Setelah saya pikir-pikir, kayaknya saya tahu siapa cowok itu tadi,”

Saya tambah manyun, “Penting ya Vin, mikir-mikir dulu untuk nentuin kamu kenal apa nggak sama seseorang?”

Nevin mengernyit, “Beneran kok. Saya baru inget, dia satu Dojo sama saya. Dia baru masuk sih, jadi saya lupa-lupa inget,”

Informasi itu membuat saya tertarik. Nevin ikut latihan aikido di sebuah Dojo rutin setiap minggu. Dia sudah Dan tiga dan cukup hebat.

“Oh ya? Tingkatannya apa?”

“Dan tiga juga. Lumayan bagus, lah.”

Saya berpikir secara kilat, mengolah info itu sedemikian rupa hingga menimbulkan sebuah gagasan, lalu saya balik lagi ke Nisa.

“Emang dia seganteng itu, ya? Banyak yang naksir sama dia?”

“Cuma cewek nggak normal yang nggak naksir dia!” jawab Nisa tegas. Saya mengangguk pelan sembari mengernyit oleh pernyataan yang terlalu menyinggung perasaan itu. Saya kembali noleh ke Nevin.

“Kapan kamu ada latihan aikido lagi?”

“Nanti sore. Kenapa?”

“Saya ikut!”

@@

Biasanya sepulang sekolah saya langsung pulang, soalnya saya nggak ikut ekskul apapun, kecuali KIR IPS ikut dihitung, yang nyaris nggak bisa dibilang ekskul. Namanya sih boleh keren dan kedengaran intelek, tapi kegiatannya ...... ampun banget, deh. Dua minggu sekali ada pertemuan sih udah untung banget. Mana tiap pertemuan isinya cuma ngobrol-ngobrol nggak jelas, lagi. Saya sih ikut KIR IPS cuma biar nilai ekskul saya nggak kosong.

Berlawanan dengan kebiasaan saya yang langsung cabut begitu bel pulang berbunyi, terlebih lagi di hari Jumat bagini yang jam sekolahnya pendek, sepulang sekolah saya malah nongkrong di perpustakaan, nungguin Nevin yang lagi sholat Jumat. Di sekolah saya, tiap Jumat cowok-cowok yang muslim wajib ikut sholat Jumat di aula sekolah.

Walaupun saya bilang nongkrong di perpustakaan, bukan berarti saya juga ngelakuin kegiatan yang normalnya dilakukan di perpustakaan, yaitu baca buku. Terus terang, saya nggak suka baca, kecuali komik. Saya memilih bangku yang paling terpencil dan duduk sembari dengerin Kya Mujse Pyaar Hain dari iPod-nya Nevin. Itu lho, versi India-nya salah satu lagu punya band yang vokalisnya namanya sama dengan saya. Bukan berarti saya suka. Habisnya pilihan lagu-lagu Nevin aneh-aneh.

Niatnya sih sembari nunggu itu saya mau tidur-tiduran, apalagi suasananya lumayan mendukung, angin semiliran ditambah lagu-lagu yang rasanya liriknya yang kayak nyuruh molor sepanjang abad. Tapi pasangan cowok-cewek yang lagi pacaran di meja bilik sebelah, obrolan mesranya yang tadinya dilakukan dengan berbisik-bisik, sekarang makin lama makin tinggi aja volumenya. Saya yang tadinya udah nyaris lelap jadi keganggu.

Saya lalu melongokkan kepala ke belakang sedikit, cukup untuk melihat siapa kedua oknum tersebut, dan kalau mungkin memelototi mereka biar pada tahu diri kalau ini tuh di perpustakaan, bukan di kafe. Ternyata yang keliatan cuma ceweknya, dan saya malah nggak kenal. Tapi kayaknya anak kelas dua. Pas saya liatin, si cewek kelas dua udah merah padam kayak nahan pipis ...... eh, maksudnya nahan tangis. Mungkin abis dimarahin sama cowoknya.

Saya membayangkan adegan Rangga ngelempar pulpen di AADC, lalu saya melihat ke sekeliling, mencari benda yang lumayan maut untuk dilempar ke pasangan itu. Ternyata nggak nemu. Satu-satunya benda yang bisa saya lempar cuma iPod-nya Nevin, dan cowok itu pasti akan menggantung saya kalau sampai itu iPod sampai lecet biar cuma sedikit. Biar, deh. Kasian juga ngeliat cewek tadi.

Dan akhirnya, sebagai solusinya, saya memaksimalkan volume iPod hingga suara-suara di sebelah cuma terdengar seperti desis statis radio yang gelombangnya nggak pas. Beberapa menit kemudian, dengan suara Deddy Dores menggelegar di telinga saya, saya tertidur pulas.

@@

Mestinya tidur saya nyenyak banget, karena saya baru terbangun waktu ada orang yang mengguncang-guncang bahu saya deengan penuh semangat. Saya membuka mata dengan susah payah, mengerjap waktu melihat muka Nevin yang membungkuk di dekat kepala saya.

“Awha?”

“Ariel jorok, ah!! iPod saya kamu ilerin, ya?”

Saya mengulurkan tangan dan mendorong kepala Nevin menjauh, lalu mematikan iPod, yang tengah memperdengarkan lagunya Inul Daratista.

“Nggak apa-apa, masih bisa nyala, kok.” Kilah saya sebelum mengedarkan pandangan ke sekeliling perpus yang udah sepi. “Mau ke Dojo sekarang ya?”

“Ya nggak, lah. Saya kan masih ada voli abis ini. Kata kamu saya suruh jemput disini abis Jumatan. Buruan, yuk. Perpusnya mau tutup,”

Saya mengernyit, mencoba memfokuskan pandangan yang masih kabur ke arah Nevin.

“Saya nggak jadi ikut deh, ke Dojo. Saya pulang aja ya? Ngantuk banget, nih,”

Nevin menaikkan sebelah alisnya, “Oh, ya udah. Sampai besok kalau gitu.” Katanya sebelum berbalik dengan teganya meninggalkan saya. Saya menyambar lengan kemeja seragamnya, cemberut saat memprotes,

“Kamu nggak nganter saya? Duit buat naik angkot udah saya pake buat beli es sirsak tadi,”

“Apa urusannya sama saya?”

Saya tambah cemberut, “Anterin saya pulang!”

“Nggak denger tadi saya bilang apaan? Kalau mau ntar aja abis voli,”

“Ngantuk ......”

“Tidur aja di UKS. Nanti saya bangunin kalau saya udah selesai ekskul,”

Muka saya langsung sumringah mendengar usul itu. Benar juga. Di UKS jam-jam segini kan sepi. Ada kasurnya, lagi. Kenapa juga nggak dari tadi saya tidur disana. Buru-buru saya berdiri dengan sigap, dan ngacir keluar perpus mendahului Nevin.

@@

Sore itu, waktu saya akhirnya ikut Nevin ke Dojo, suasana hati saya sudah sekelabu langit mau hujan. Gimana nggak, karena saya harus nunggu Nevin latihan voli di pinggir lapangan, terdampar diantara tas-tas anak-anak voli yang ditumpuk jadi satu. Rencana tidur di UKS terpaksa batal karena sewaktu saya nyampai di sana, tempat itu ternyata udah dibooking buat pacaran. Pasangan yang tadi tuh, yang di perpus. Saya cuma liat ceweknya, tapi jelas mereka berduaan, karena saya denger suara cowok juga.

Sialan. Nggak kreatif amat sih milih tempat buat pacarannya.

Setelah latihan voli selesai, daripada tanggung-tanggung langsung pulang, saya memutuskan untuk ikut Nevin ke Dojo sekalian. Toh niat saya tadinya juga mau ikut.

“Vin, cowok yang itu siapa, sih? Kok saya kayak pernah liat, ya?” tanya saya sewaktu saya dan Nevin sudah ada di dalam Dojo, dan sebagian anggotanya sudah berkumpul. Waktu itu suasana hati saya sudah mulai cerah, karena teringat dengan rencana saya semula. Saya menunjuk seorang cowok yang tengah berdiri berdampingan dengan seorang bapak-bapak yang sama-sama memakai seragam aikido.

“Gimana sih kamu nih. Ya itu dia yang tadi siang bikin cewek-cewek histeris di kantin! Yang namanya ....... siapa? Oh iya, Karan.”

“Oh .......” saya manggut-manggut, “Buta deh, yang bilang dia jauh lebih cakep dari Samuel. Orang Samuel imut banget gitu ......” mata saya tak lepas dari sosok cowok itu, “Eh Vin, saya liat-liatin, si Karan ini lagaknya kok kayak yang sok banget gitu ya? Berasa paling cakep sedunia,”

“Saya denger dari cewek-cewek sih gitu. Dingin. Tapi disini saya belum begitu akrab sama dia,”

Saya memandang Nevin dengan mata terbelalak takjub, “Kamu denger dari cewek-cewek??? Jadi kamu ikutan ngerumpi??! Tumbeeeen .......”

Nevin merengut, “Nggak lucu! Kamu sendiri kan tahu gimana Nisa kalau udah ngomong. Dari jarak 100 meter juga masih nyaring!”

Saya manggut-manggut lagi. Kemudian tanpa berkomentar apa-apa saya mengeluarkan hape saya, mengaktifkan kamera, dan mulai membidik sosok tinggi Karan dengan gaya sembunyi-sembunyi ala paparazzi memburu seleb.

“Buset. Ngapain kamu?” seru Nevin kaget.

Saya nggak menjawab, cuma senyum-senyum mencurigakan.

“Waduh, ternyata kamu nggak kebal juga dari cowok kayak dia, ya?”

Dengan gemas saya mendorong kepala Nevin, “Ngeres!”

Nevin nyengir, “Trus buat apaan kamu motretin dia?”

Sembari terus memotret Karan dari berbagai sudut pengambilan dan dalam berbagai gaya memotret yang saya pelajari dari papi saya tercinta, saya mulai menjelaskan, “Kamu tahu kan, kalau foto kayak gini sangat berharga?”

“Buat kamu?”

“Bukan!” sela saya tersinggung, “Buat cewek-cewek kayak Nisa sama Iin, lah.”

“Oh, gitu.” Nevin tampak mulai mengerti maksud saya.

“Iya. Gitu.”

“Tapi, Ri,” kata Nevin sambil mengerutkan kening agak bingung, “Apa nggak sayang kamu capek-capek bikin itu foto, nantinya kamu kasih gitu aja ke Nisa sama Iin? Kalau saya sih bakalan saya jual.”

Saya memelototi Nevin, “Kan emang itu yang saya maksud!”

“Oh ......” kata Nevin lagi. Kali ini kayaknya mengerti beneran. Dia ikut memperhatikan Karan, yang sama sekali nggak sadar dirinya tengah jadi obyek sumber penghasilan saya.

“Saya tahu kalau kamu dari dulu emang matre,” kata Nevin sambil lalu, tidak memperhatikan saya yang memandangnya sebal, “Tapi kok tumben sih kamu bela-belain jual foto segala? Papi kamu lagi sepi order, ya?”

“Sepi order? Memangnya papi saya tukang foto keliling?” gerutu saya nggak rela. “Tadi pas hasil ulangan dibagiin, saya dapet 8. Ini cuma sebagai persiapan kalau-kalau nanti Papi nggak ngasih uang saku ke saya gara-gara itu begitu balik dari Sidoarjo.”

Nevin kelihatan kaget banget, “Dapet 8 aja kamu bakalan nggak dikasih uang saku??? Gila! Standar ekspektasi papi kamu ngeri banget! Emangnya ulangan apaan, sih? Bukannya yang tadi dibagiin cuma ulangan Sejarah? Sejarah kan kamu dapet ......” dia berhenti, lalu memandang saya curiga.

“Iya. Sejarah. Saya emang dapet 8, tapi kan bagi dua ama kamu. Soalnya kita kan kompak.”