Senin, 11 Agustus 2008

Orang-Orang di Sekitar Aphip

Dalam kehidupan Aphip yang kadang penuh warna dan kadang buram kayak salah satu jenis kertas potokopian ini, ada banyak sekali oknum-oknum di sekitarnya yang ikut serta mewarnai (gambar anak TK, kali!) hari-harinya. Pada dasarnya, oknum-oknum tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar, yaitu mereka yang berhubungan dengan Aphip karena darah, dan yang kedua adalah mereka yang berhubungan karena takdir Tuhan Yang Maha Esa.

1. Mereka yang berhubungan darah dengan Aphip

a. Ibunda tercinta, beliau ini adalah sosok perempuan yang menurut saya paling tangguh sedunia. Walaupun badannya kecil, ibu saya itu kuat banget loh. Dan walaupun mukanya lembut dan sering senyum, tapi kalau sudah maunya, wiiiih, jangan harap bisa lolos. Pintar masak dan nggak pernah mau kompromi kalau soal ibadah dan kedisiplinan. Makanya, setiap kali saya pulang, saya pasti digembleng abis-abisan. Kalau pagi bangunnya gak boleh telat, selalu dibangunin subuh-subuh buat sholat, nggak lupa banguninnya pake bawa gayung yang diisi air, dengan ancaman saya bakalan disiram kalau nggak buruan bangun (saya pernah sekali kena), siang sama malem gak boleh tidur dulu kalo belum sholat dhuhur sama isya. Pokoknya ketat banget deh, biarpun nyuruhnya halus-halus maksa. Selain itu, Ibu saya adalah seorang manusia kontradiktif. Hal ini saya temukan bersamaan dengan fenomena The Changcuters. Mengapa demikian? Ceritanya begini, waktu awal-awal kemuculan grup band itu, ibu saya berkomentar sedikit sengak seperti ini, "Opo ae seh iku? Dandanane kayak jamane Masmu sik ngompol!" yang terjemahan bebasnya kira-kira, "Dandanan The Changcuters kayak jamannya Mas saya masih suka ngompol!"
Saya, yang bukan penggemar the Changcuters, mengambil kesimpulan brilian: ibu saya gak suka sama band itu. Apakah kesimpulan saya benar??
Ternyata tidak!! Sejak komentar yang sedikit hiperbolis itu, saya mendapati bahwa ibu saya semakin sering menonton acara-acara yang menampilkan the Changcuters. Tiap kali nonton tipi dan ganti channel, kalau ada Changcuters pasti langsung ditonton, dan gak ada yang boleh ganti-ganti channel. Tentu acara nontonnya ini dibarengi dengan lontaran komentar-komentar yang nggak kalah sengak dengan komentar sesi pertama tadi. Mencaci, tapi ya ditonton. Menghina, tapi nggak mau ketinggalan. Bahkan pernah ibu saya sambil mencuci piring menyenandungkan 'I Love You Bibeh'.
Itulah Ibu saya, manusia yang sangat kontradiktif.

b. Kakak perempuan saya, sekarang Mbak saya ini sudah ada di kalimantan bersama suami dan anak perempuannya yang imut. Dulu waktu masih belum kawin, setiap kali tidur bareng saya, kalau paginya ibu sudah mulai beraksi dengan gayung mautnya, saya sama Mbak saya pasti kompakan narik selimut tinggi-tinggi dan mempertahankannya mati-matian sebagai benteng pertahanan dari serangan air gayungnya ibu. Sekarang setelah jauhan, dia sering kirim pulsa buat saya, dan kalo telepon, pasti rebutan sama anaknya. Dulu waktu Mbak saya masih kecil, di tipi ada iklan shampoo yang ceritanya tentang seorang cewek yang keramas sembari nyanyi-nyanyi la-la-la gitu. Suatu hari, Mbak saya ngilang entah kemana. Selidik punya si didik, bapak saya nemuin oknum yang ngilang itu lagi di kamar mandi, basah kuyub karena mandi dengan baju lengkap. Pas ditanyain, Mbak saya dengan lugu dan polosnya menjawab, "Kenapa? Saya lagi lalalala,"
Sangat menakjubkan bagaimana tayangan di televisi mempengaruhi pola pikir anak.

c. Abang saya. Dari kedua kakak saya, Mas saya inilah yang paling akrab sama saya, nggak tau kenapa. Saking akrabnya, dulu saya sering berantem sama dia. Berantemnya seru banget, lagi. Pake banting-bantingan ala smackdown segala. Kaki saya pernah keseleo gara-gara dibanting sama Mas saya, sampai-sampai ibu saya marah banget dan ngunciin Mas saya di kamar mandi. Mas saya ini juga jahilnya gak ketulungan. Udah tau saya takut banget sama kucing, tiap kali ada kucing pasti malah nangkepin dan main dilempar-lempar ke arah saya. Bahkan pernah punggung saya ditemplokin kucing sampai saya nangis hebat. Habisnya, kucing itu nggak mau lepas biarpun saya udah loncat-loncat kayak kesurupan jin iprit. Betenya, udah tau saya nangis-nangis bombay dan jerit-jerit heboh kayak gitu, Mas saya malah ketawa-ketawa kayak orang gila. Sampai saat ini saya masih suka dendam kalau liat kucing lewat.
Mas saya ini juga punya riwayat asmara yang agak-agak dramatis, mirip banget sama cerita sinetron (Rasain, ceritamu tak bongkar semua, Hahahahaha!!). Alkisah, Mas saya pacaran sama Mbak W, tetangga yang rumahnya gak terlalu deket dari rumah ibu saya. Mereka serius banget, bahkan sudah mikir mau ke pelaminan segala. Tapi (ini dia yang kayak sinetron), orangtu si Mbak W gak setuju sama Mas saya, alasannya gak logis dan sangat primitif: weton lahir Mas saya gak cocok sama weton lahir si Mbak W, jadi nanti kalo berumahtangga gak bakalan langgeng, cekcok terus, gak ada harmonis-harmonisnya, blablabla. Apakah mereka berdua menyerah??? Tentu tidak!! Mereka kemudian merencanakan suatu tindakan drastis yang kayaknya plek menjiplak dari skenario sinetron terbaru di tipi: kawin lari.
Seru banget ceritanya. Mbak W diajak menghadap ke ibu dan Mbak saya, dan dihadapan beliau-beliau ini, Mbak W menangis terisak-isak dan bilang, kalau bukan sama Mas saya, dia nggak mau kawin (Ceilee.... kayaknya si Mbak W ini penderita rabun dekat). Dan disusunlah sebuah rencana besar yang ngalahin rencana perang Pangeran Diponegoro. Mas dan Mbak W akan mengungsi ke suatu kota (sori, saya lupa) untuk minta perlindungan kepada seorang Kyai yang juga adalah pembimbing spiritual mereka (sekarang saya tahu darimana datangnya tren itu di kalangan seleb), sementara salah seorang saudara Mbak W yang bersekutu dengan mereka akan mengambilkan pakaian-pakaian Mbak W untuk kemudian dikirimkan ke kediaman sang guru spiritual. Tentang bagaimana cara mengambil biar nggak dicurigai ortu Mbak W, kapan dan siapa yang mengirim persandangan tersebut serta kode-kode rahasia yang diperlukan juga sudah dipikirkan masak-masak. Pokoknya rencananya mateng banget. Bahkan Mas saya sudah bilang seperti ini ke ibu saya, "Jadi bu, nanti kalau memang mentok nggak ada jalan lain, ya terpaksa kita langsung merit disana, dan mungkin gak bakalan balik ke sini lagi." Gimana ibu saya gak langsung mewek bombay denger kata-kata itu? Pas saya tanya ke Mbak saya , "Sampeyan juga nangis, Mbak?" (Saya nggak berada di rumah pas peristiwa ini terjadi, sial), Mbak saya dengan penuh harga diri berkata, "Ya nggak, lah. Saya cuma kelilipan."
Ironisnya, rencana yang sudah tersusun matang dan apik itu ternyata gak sampai terlaksana, karena sesuatu yang benar-benar antiklimaks: ortu Mbak W akhirnya menyetujui hubungan mereka berdua.
Saya jadi mengerti kenapa para penulis skenario cenderung mendramatisasi dan meng-hiperbolisasi cerita yang mereka bikin: karena kenyataan kadang-kadang tidak terlalu menarik.

d. Pakde dan Bude, dengan siapa saya tinggal sejak saya ABG. Mereka berdua adalah sosok-sosok yang nggak kalah pentingnya dalam sketsa kehidupan saya. Kalau disingkat, mereka berdua adalah pasangan yang sangat kontradiktif (kayaknya saya seneng banget pake kata ini ya), karena Pakde saya adalah manusia teori, sementara Bude saya adalah seorang praktisi sejati. Pakde saya seorang profesor dan guru besar di sebuah universitas, dan mungkin karena terlalu tinggi level kejeniusannya itulah, kadang suka nggak nyambung kalau ngomong masalah hal remeh temeh, dan semuanya harus dirasionalisasi dan di-teoritis terlebih dahulu. Semua hal bagi Pakde saya harus ada hitam di atas putih, harus ada prinsip dasarnya, harus ada dasar teorinya, blablabla. Tapi kadang secara mengejutkan Pakde saya bisa melontarkan ucapan yang agak lucu. Misalnya waktu Pakde bilang, "Tau gak, Ibu Kartini kan punya nama lain, lho." dan Bude menyahut, "Apa?" , Pakde dengan sok polosnya menjawab, "Harum,"
Buat yang gak ngerti, cobalah menyanyikan lagu ibu kita kartini.
Jayus, ya? Itulah Pakde saya.
Sementara Bude, seorang praktisi sejati yang nggak mau tahu masalah teori segala macem. Semua hal harus langsung dipraktekkan, habis perkara. Gak perlu nunggu surat penetapan keluar untuk melakukan hal apapun--seperti yang dianut oleh suaminya tercinta. Pernah pas saya sama Bude mau meletakkan galon yang isinya penuh ke atas dispenser, Pakde dengan baik hati dan sikap riang berkata, "Sini saya bantu,", Bude dengan kalem dan tak acuh menjawab, "Nggak usah, nanti kalau Papa bantuin malah kelamaan, nunggu Papa selesai menganalisis dan menyusun rumusan masalah dulu. Sana Papa duduk yang tenang aja, bantuin aja pake doa!"
Itulah Bude saya.

2. Mereka yang berhubungan karena Takdir Tuhan Yang Maha Esa

Untuk masalah bagian yang ini, karena agak banyak, disambung lain kali aja ya.....

Tidak ada komentar: