Jumat, 23 Januari 2009

Mesin Cuci si Mbak

Suatu malem, pas saya baru aja mau beranjak mencari posisi yang tepat untuk molor sepanjang malam, tiba-tiba hape saya tat-tit-tut menandakan ada sms masuk. Tadinya mau cuekin aja, tapi takutnya itu sms penting atau darurat.
Ternyata sms itu dari Mbak saya di Kalimantan, tapi sama sekali bukan sms penting, apalagi darurat. Begini kutipan langsung dari sms Mbak saya yang-nggak-penting-dan-nggak-darurat itu: "Tun, piye carane nggawe mesin cuci? Aku ora iso,". Kira-kira terjemahan bebasnya seperti ini: "Tun, gimana caranya make mesin cuci? Saya nggak bisa,"
Sekedar informasi, nggak ada satu orangpun di keluarga inti saya yang memanggil nama saya dengan baik dan benar. Ibu saya manggil saya Penthul, Mas saya manggil saya Adhek, orang-orang sekampung manggil saya Itha (asal-usul nama ini akan dibahas di cerita yang lain), dan Mbak saya (entah dapat inspirasi darimana) manggil saya Sagintun, yang secara otomatis ditirukan oleh anaknya, sehingga saya punya nama panggilan baru, tante Sagintun (what a cool name, eh?!)
Anyway, kita balik ke topik sms. Walah. Taulah saya kalau si Mbak baru beli mesin cuci. Sayapun menjawab kalau nggak semua mesin cuci itu cara pengoperasiannya sama, dan biasa pake satu mesin cuci di rumah nggak lantas membuat saya ahli masalah permesincucian. Tapi lalu dari cara si Mbak mendeskripsikan mesin cuci barunya, ternyata tipenya sama dengan yang biasa saya pake (walaupun beda merk), sehingga pede-lah saya menjelaskan ke si Mbak.
Jadilah malem itu saya memberi kuliah lewat sms tentang istilah-istilah dalam permesincucian, mulai dari apa itu wash timer, spin timer, wash/drain selector, sampai kenapa di tabung spin ada tutupnya. Saya bahkan dengan baik hatinya menjelaskan sampai ke gimana cara membilas, buang airnya kemana, dan seberapa banyak air yang diperlukan. Komplit-plit-plit, sampai membuat pulsa saya rontok bin ambrol akibat sms-an marathon itu.
What can I say? Saya memang adik yang teramat baik.
Setelah akhirnya pulsa saya benar-benar tinggal seuprit lagi menuju kematian, sayapun menanyakan pada Mbak saya apa dia sudah ngerti, pertanyaan yang sebenarnya nggak perlu dijawab, karena saya merasa penjelasan saya sudah sangat gamblang dan bisa dimengerti oleh siapapun yang bisa baca.
Jawaban Mbak saya sangat singkat dan menohok hati.
I call u 2morrow
................................
UAAAARRRRGGGGHHH!!!!!!!!!!
Darah itu lebih kental dari air, Jeng!

Senin, 12 Januari 2009

Blogger Jadi-jadian


HUALLLOOOHHH!!!!!!!!!!!
Luammaa banged ya, saya gak nongol-nongol di blog tercinta kita ini!! Sebenarnya saya sudah mau resign dari dunia perblogan, loh, harap dicatat. Karena saya males dan mood-mood-an banget, susah mengharapkan seorang Aphip akan dengan telaten, ulet dan pantang menyerah mengurusi sebuah blog, yang tercipta karena iseng dan sedikit penasaran dengan produk dunia maya ini.
Anyway, alasan saya nongol disini lagi sekarang ini bukan karena saya tersadarkan, saya dapat pencerahan, atau (gak mungkin banget) saya dapat wangsit dari Mahatma Gandhi. Bukan, alasan saya (paling nggak, ingin) mencoba untuk aktif kembali adalah gara-gara komentar temen saya, yang baru belajar bikin blog dan lagi semangat-semangatnya bikin blog, yang bernama inoen yang juga punya blog di komunitas ini, yang maksa banget nyuruh saya nyantumin namanya disini (harus!! katanya) yang menyatakan bahwa (katanya sih dari buku yang dia baca, kayak Helen-nya Kepompong aja, deh) orang yang cuma semangat pas bikin blog dan awal-awalnya aja itu namanya blogger jadi-jadian.
Weeeeiiiiikkk.
Saya ndak terima tuduhan itu!! Ndak rela dan ndak sudi!!!
Saya terlalu berharga, sempurna dan imut untuk menjadi apapun yang berbau jadi-jadian!! Ndak mau!!!

Nasib Petronas Mikroskopis


Daripada bingung mau posting apaan, akhirnya yang gak penting-gak penting pun saya uraikan juga disini. Biarin, ah. Yang penting posting!!

Anyway, saya punya temen baik yang sekarang kerja di Tarakan, Kalimantan Timur. Namanya Diding. Lengkapnya Diding Alfirmansyah (Hwehehehehe, rasain, taksebutin nama lengkapmu!!). Dia dulu temen SMA saya. Saya deket lagi sama dia setelah sempat 'menemukan' makhluk ini lewat FS dan ternyata dia masih satu kota sama saya (itu sebelum dia hijrah ke Tarakan). Dan setelah dia pindah kerja ke Tarakan, saya dan dia masih terus kontak lewat sms, terutama pas happy hour, alias pagi ampe menjelang siang karena sms murah (buat saya).

Dari kontak-lewat-sms-terutama-pas-hepihour itulah saya diceritain macem-macem. Mulai dari histerisnya dia pas dikasih proyek pembangunan mal yang katanya bakalan jadi mal terbesar se asia tenggara (si Diding ini dari desain grafis), sampai ceritanya yang lebih histeris lagi tentang kepergiannya ke Malaysia mendampingi bosnya. Tentu saja sebagai teman yang baik saya ikut bersyukur temen saya itu bisa menginjakkan kaki ke negeri tetangga sebelah, dan tak lupa menodong oleh-oleh. Dan karena Diding juga temen yang baik, dia akhirnya bersedia membelikan saya oleh-oleh, sebuah miniatur Petronas, yang katanya bener-bener mini sampai kalau mau lihat harus pake mikroskop (Saya lupa menyebutkan kalau dia agak terlalu hiperbolis kadang-kadang).

Nah, si petronas mikroskopis ini rencananya mau dia kasih begitu dia balik ke Malang, katanya sih di bulan Desember. Waktu dia belinya itu udah beberapa bulan sebelumnya--saya lupa kapan tepatnya. Sayapun dengan nggak sabar menunggu sang Diding balik ke Jawa. Bukan karena saya kangen sama dia, tapi karena saya udah nggak sabar buat memegang si petronas mikroskopis.

Tapi, ndilalah, Desember sudah mau mampus si Diding belum keliatan juga batang idungnya di Malang. Begitu saya todong dan protes, dengan entengnya si makhluk kurus ini berkilah dia cuma balik ke Malang dua hari, gak sempet kemana-mana, apalagi nemuin saya (tapi saya yakin dia masih sempet bikin acara kunjungan resmi ke tempat pacarnya, Cih.), dan dia saat itu masih di Jakarta, baru balik ke Tarakan tanggal 3 Januari.
Untuk membujuk saya yang keburu ngambek, Diding menjanjikan untuk mengirim si petronas lewat pos langsung begitu dia nyampe di Tarakan (Cuih, kenapa juga gak dari dulu dia kirim pos, coba?!). Sayapun agak calm down dengan janji-janji surga itu, dan tak lupa setiap hari saya mengingatkan dia untuk segera mengirimkan petronas imut tersebut.
Kira-kira pertengahan Januari ini, datanglah berita dari si Diding. Begini ceritanya yang dituturkan dengan (seperti biasanya) histeris, "Pip, tau gak seeh, pas kemaren mau balik ke Tarakan, aku ketinggalan pesawat. Pesawatnya berangkat jam 06.15, aku baru bangun jam 07.00!! Hiks. Akhire aku kudu beli tiket pesawat lagi, pake duit aku sendiri!! Pailit deh aku jadinya gara-gara nguras tabungan! Jadi sori ya, petronasmu baru takkirim bulan depan, setelah aku gajian!"
Saya belajar yang namanya kesabaran dengan makhluk bernama Diding dan petronas mikroskopisnya,