Selasa, 10 Februari 2009

The Cat of My Life





Saya benci kucing.

Benci banget, dengan huruf B kapital. Kucing adalah satu dari dua hewan yang akan membuat saya mencelat sejauh at least satu kilometer begitu ada yang menyodorkannya di hadapan saya. Hewan yang satu lagi adalah cicak, tapi itu untuk cerita yang laen.

Nggak ada alasan kuat ataupun traumatis kenapa saya bisa benci banget sama kucing, yang jelas saya sudah benci kucing sejak saya bisa mengingat nama saya sendiri dan menyebutkannya kalau ada yang nanya. Pokoknya, sejuta tahun yang lalu. Meskipun begitu, kalau dipaksa berpikira logis, saya akan beranggapan bahwa kebencian saya itu sangat beralasan dan sangat sesuai logika.

Menurut saya, kucing adalah binatang yang paling tidak bisa dipercaya. Liat aja matanya yang licik itu. Saya nggak akan pernah sudi membelakangi seekor kucing, biarpun kucing itu berada di dalam kotak bernama tipi.

Waktu saya masih kecil, Ibu saya selalu mewanti-wanti anak-anak yang lain untuk nggak nakut-nakutin saya kucig, soalnya kalo malem saya jadi suka mimpi buruk dan teriak-teriak. Cara itu lumayan berhasil, tapi hanya untuk anak-anak orang lain. Pasalnya, suatu hari Mas saya dengan iseng dan keji membawa seekor kucing tetangga dan nemplokin binatang itu di punggung saya.

Bayangkan betapa histerisnya saya waktu itu. Orang yang mendengar teriakan dan tangisan saya pasti mengira saya lagi di-KDRT oleh Mas saya yang jahat itu. Belum lagi si kucing yang nggak mau lepas-lepas juga dari punggung saya betapapun kerasnya saya melompat-lompat dan menggerak-gerakkan punggung saya kesana kemari. Merasakan si kucing berayun-ayun di punggung saya langsung membuat jeritan saya makin histeris, dan ingatan akan hal itu sampai saat ini masih membuat saya merinding.

Dan selama terjadinya drama satu babak itu, Mas saya cuma ketawa-tawa sadis tanpa ada niatan sedikitpun untuk menyingkirkan benda hidup berbulu yang nangkring di punggung saya itu. Dia baru bertindak begitu ibu saya turun tangan dan memarahi dia.

Kalau saja peristiwa itu terjadi waktu saya masih terlalu kecil untuk mengenal kata dendam, tentu nggak masalah. Yang menjadikannya masalah dengan hurup M kapital adalah peristiwa tragis itu terjadi waktu saya SMA. Ditambah lagi, kejadian saya nangis histeris kayak orang gila itu tidak hanya disaksikan oleh Mas dan Ibu saya, tapi juga oleh salah seorang temen Mas saya yang kebetulan sedang saya taksir mati-matian.

Dendam memiliki arti baru dalam hidup saya sejak saat itu. Saya menolak berbicara dengan Mas saya selama beberapa hari berikutnya, dan kadang-kadang, kadang-kadang saya masih suka merasa ingin menimpuk kepala Mas saya pake meja telepon kalau saya inget peristiwa itu.



Tebak-Tebak Berhadiah

Waktu saya lagi iseng-mode tahap akut, saya membuka-buka koleksi (cieh..!!) foto saya di kompy, dan nemulah foto diatas. Sekedar penjelasan, foto itu dibikin waktu farewell party-nya temen saya si inoen yang mau balik ke negerinya di Jember sana. Kita berlima (sama yang motoin, cowok dengan panggilan yang menggemaskan, Gimbul, walaupun penampakannya nggak semenggemaskan panggilannya) asyik banget mendatangi tempat2 yang menurut inoen bakalan dia kangenin di Malang. Mulai dari museum Brawijaya, warung WW di deket stasiun kota baru, ampe tentu saja nggak ketinggalan, kampus kita tercinta.
Anyway, foto diatas berlokasi di kampus Brawijaya, di tugu depan rektorat yang waktu itu masih setengah jadi. Di situ kita berempat keliatan banget lagi penasaran kronis sama sesuatu sampe nggak nyadarin kalau ada yang motoin. Sekedar informasi, yang membuat kita berempat kompakan menampakkan bagian samping kepala kepada Gimbul adalah sepasang manusia yang sedang pacaran yang duduk tak jauh dari tempat kita berempat. Kalau dibikin ilustrasi pikiran dari keempat cewek itu, mungkin seperti di bawah ini (dari kiri ke kanan):
Cewek 1: "Wiiiih...mau dong.."
Cewek 2: "Waah... bikin ngiri.."
Cewek 3: "Weleh...gak kreatip amat milih tempat.."
Cewek 4: "Wuuiiih...ni temen-temen saya kayak gag pernah liat orang pacaran ajah! Saya dong, keliatannya gag kepengen tau, tapi tetep liatin jugah..."
Karena iseng-mode saya masih lumayan parah, sekalian ajah sekarang saya kasih tebakan buat kalian yang kebetulan juga dalam mode yang sama sehingga membaca postingan saya ini. Demikian tebakannya:
Coba tebak, yang manakah Aphip?
Petunjuk: Yang paling imut, manis, en baik hati.
Buat yang jawabannya betul akan mendapat foto bertanda tangan dari Aphip. Hadiah yang sangat menggiurkan, bukan?? Makanya, tunggu apalagee..??

Senin, 02 Februari 2009

Memori...oh Memori


Gambar di atas adalah dokumentasi waktu saya lagi kena sidang skripsi, sekitar sejuta tahun yang lalu (mungkin nggak selama itu, tapi rasanya emang sudah lama banget). Gak tau kenapa tiba-tiba saya jadi teringat masa-masa penuh warna itu. Waktu itu rasanya mau mati aja. Bukan pas sidangnya, tapi pas masa-masa menjelang hari itu. Kayak-kayaknya apa-apa gak enak. Gak enak makan, gak enak tidur, tidurpun sering mimpi serem. Semua orang yang menjelang kompre pasti gitu, ya?
Anyway, di foto itu saya yang rambut panjang lagi nunduk di atas buku( ya EYA lah!), kesannya lagi sibuk nyari data-data buat ngejawab pertanyaan dosen, padahal lagi bingung mau ngejawab apaan. Hweheheheheh....

Jumat, 23 Januari 2009

Mesin Cuci si Mbak

Suatu malem, pas saya baru aja mau beranjak mencari posisi yang tepat untuk molor sepanjang malam, tiba-tiba hape saya tat-tit-tut menandakan ada sms masuk. Tadinya mau cuekin aja, tapi takutnya itu sms penting atau darurat.
Ternyata sms itu dari Mbak saya di Kalimantan, tapi sama sekali bukan sms penting, apalagi darurat. Begini kutipan langsung dari sms Mbak saya yang-nggak-penting-dan-nggak-darurat itu: "Tun, piye carane nggawe mesin cuci? Aku ora iso,". Kira-kira terjemahan bebasnya seperti ini: "Tun, gimana caranya make mesin cuci? Saya nggak bisa,"
Sekedar informasi, nggak ada satu orangpun di keluarga inti saya yang memanggil nama saya dengan baik dan benar. Ibu saya manggil saya Penthul, Mas saya manggil saya Adhek, orang-orang sekampung manggil saya Itha (asal-usul nama ini akan dibahas di cerita yang lain), dan Mbak saya (entah dapat inspirasi darimana) manggil saya Sagintun, yang secara otomatis ditirukan oleh anaknya, sehingga saya punya nama panggilan baru, tante Sagintun (what a cool name, eh?!)
Anyway, kita balik ke topik sms. Walah. Taulah saya kalau si Mbak baru beli mesin cuci. Sayapun menjawab kalau nggak semua mesin cuci itu cara pengoperasiannya sama, dan biasa pake satu mesin cuci di rumah nggak lantas membuat saya ahli masalah permesincucian. Tapi lalu dari cara si Mbak mendeskripsikan mesin cuci barunya, ternyata tipenya sama dengan yang biasa saya pake (walaupun beda merk), sehingga pede-lah saya menjelaskan ke si Mbak.
Jadilah malem itu saya memberi kuliah lewat sms tentang istilah-istilah dalam permesincucian, mulai dari apa itu wash timer, spin timer, wash/drain selector, sampai kenapa di tabung spin ada tutupnya. Saya bahkan dengan baik hatinya menjelaskan sampai ke gimana cara membilas, buang airnya kemana, dan seberapa banyak air yang diperlukan. Komplit-plit-plit, sampai membuat pulsa saya rontok bin ambrol akibat sms-an marathon itu.
What can I say? Saya memang adik yang teramat baik.
Setelah akhirnya pulsa saya benar-benar tinggal seuprit lagi menuju kematian, sayapun menanyakan pada Mbak saya apa dia sudah ngerti, pertanyaan yang sebenarnya nggak perlu dijawab, karena saya merasa penjelasan saya sudah sangat gamblang dan bisa dimengerti oleh siapapun yang bisa baca.
Jawaban Mbak saya sangat singkat dan menohok hati.
I call u 2morrow
................................
UAAAARRRRGGGGHHH!!!!!!!!!!
Darah itu lebih kental dari air, Jeng!

Senin, 12 Januari 2009

Blogger Jadi-jadian


HUALLLOOOHHH!!!!!!!!!!!
Luammaa banged ya, saya gak nongol-nongol di blog tercinta kita ini!! Sebenarnya saya sudah mau resign dari dunia perblogan, loh, harap dicatat. Karena saya males dan mood-mood-an banget, susah mengharapkan seorang Aphip akan dengan telaten, ulet dan pantang menyerah mengurusi sebuah blog, yang tercipta karena iseng dan sedikit penasaran dengan produk dunia maya ini.
Anyway, alasan saya nongol disini lagi sekarang ini bukan karena saya tersadarkan, saya dapat pencerahan, atau (gak mungkin banget) saya dapat wangsit dari Mahatma Gandhi. Bukan, alasan saya (paling nggak, ingin) mencoba untuk aktif kembali adalah gara-gara komentar temen saya, yang baru belajar bikin blog dan lagi semangat-semangatnya bikin blog, yang bernama inoen yang juga punya blog di komunitas ini, yang maksa banget nyuruh saya nyantumin namanya disini (harus!! katanya) yang menyatakan bahwa (katanya sih dari buku yang dia baca, kayak Helen-nya Kepompong aja, deh) orang yang cuma semangat pas bikin blog dan awal-awalnya aja itu namanya blogger jadi-jadian.
Weeeeiiiiikkk.
Saya ndak terima tuduhan itu!! Ndak rela dan ndak sudi!!!
Saya terlalu berharga, sempurna dan imut untuk menjadi apapun yang berbau jadi-jadian!! Ndak mau!!!

Nasib Petronas Mikroskopis


Daripada bingung mau posting apaan, akhirnya yang gak penting-gak penting pun saya uraikan juga disini. Biarin, ah. Yang penting posting!!

Anyway, saya punya temen baik yang sekarang kerja di Tarakan, Kalimantan Timur. Namanya Diding. Lengkapnya Diding Alfirmansyah (Hwehehehehe, rasain, taksebutin nama lengkapmu!!). Dia dulu temen SMA saya. Saya deket lagi sama dia setelah sempat 'menemukan' makhluk ini lewat FS dan ternyata dia masih satu kota sama saya (itu sebelum dia hijrah ke Tarakan). Dan setelah dia pindah kerja ke Tarakan, saya dan dia masih terus kontak lewat sms, terutama pas happy hour, alias pagi ampe menjelang siang karena sms murah (buat saya).

Dari kontak-lewat-sms-terutama-pas-hepihour itulah saya diceritain macem-macem. Mulai dari histerisnya dia pas dikasih proyek pembangunan mal yang katanya bakalan jadi mal terbesar se asia tenggara (si Diding ini dari desain grafis), sampai ceritanya yang lebih histeris lagi tentang kepergiannya ke Malaysia mendampingi bosnya. Tentu saja sebagai teman yang baik saya ikut bersyukur temen saya itu bisa menginjakkan kaki ke negeri tetangga sebelah, dan tak lupa menodong oleh-oleh. Dan karena Diding juga temen yang baik, dia akhirnya bersedia membelikan saya oleh-oleh, sebuah miniatur Petronas, yang katanya bener-bener mini sampai kalau mau lihat harus pake mikroskop (Saya lupa menyebutkan kalau dia agak terlalu hiperbolis kadang-kadang).

Nah, si petronas mikroskopis ini rencananya mau dia kasih begitu dia balik ke Malang, katanya sih di bulan Desember. Waktu dia belinya itu udah beberapa bulan sebelumnya--saya lupa kapan tepatnya. Sayapun dengan nggak sabar menunggu sang Diding balik ke Jawa. Bukan karena saya kangen sama dia, tapi karena saya udah nggak sabar buat memegang si petronas mikroskopis.

Tapi, ndilalah, Desember sudah mau mampus si Diding belum keliatan juga batang idungnya di Malang. Begitu saya todong dan protes, dengan entengnya si makhluk kurus ini berkilah dia cuma balik ke Malang dua hari, gak sempet kemana-mana, apalagi nemuin saya (tapi saya yakin dia masih sempet bikin acara kunjungan resmi ke tempat pacarnya, Cih.), dan dia saat itu masih di Jakarta, baru balik ke Tarakan tanggal 3 Januari.
Untuk membujuk saya yang keburu ngambek, Diding menjanjikan untuk mengirim si petronas lewat pos langsung begitu dia nyampe di Tarakan (Cuih, kenapa juga gak dari dulu dia kirim pos, coba?!). Sayapun agak calm down dengan janji-janji surga itu, dan tak lupa setiap hari saya mengingatkan dia untuk segera mengirimkan petronas imut tersebut.
Kira-kira pertengahan Januari ini, datanglah berita dari si Diding. Begini ceritanya yang dituturkan dengan (seperti biasanya) histeris, "Pip, tau gak seeh, pas kemaren mau balik ke Tarakan, aku ketinggalan pesawat. Pesawatnya berangkat jam 06.15, aku baru bangun jam 07.00!! Hiks. Akhire aku kudu beli tiket pesawat lagi, pake duit aku sendiri!! Pailit deh aku jadinya gara-gara nguras tabungan! Jadi sori ya, petronasmu baru takkirim bulan depan, setelah aku gajian!"
Saya belajar yang namanya kesabaran dengan makhluk bernama Diding dan petronas mikroskopisnya,