Senin, 14 Juli 2008

Secuil Tentang (salah satu) Novelku

DEAL!! (Ini Judulnya)

Punya papi seorang fotografer yang lumayan handal memang membanggakan, terlebih lagi kalau sang papi tersebut bekerja di sebuah majalah yang cukup bergengsi. Tapi buat saya, biarpun saya sayang banget sama papi saya, kadang saya punya keinginan terpendam nan terlarang untuk mengirim papi saya ke Kutub Utara dalam kotak sereal. Masalahnya begini, sebagai seorang fotografer lapangan, papi harus sering pergi jauh, bahkan sampai ke luar negeri segala. Itupun kadang sampai berhari-hari atau malah berminggu-minggu baru pulang, sehingga saya sering ditinggal sendirian. Mami saya sudah bercerai dengan papi sewaktu saya kelas 6 SD dan sekarang tinggal di Surabaya dengan suami keduanya, Oom Tio, seorang pengusaha roti yang punya dua orang anak cowok dari pernikahan pertamanya. Dari pernikahannya dengan Oom Tio ini, mami ngasih saya adik cowok namanya Satria, umurnya sekarang baru 6 bulan dan lagi lucu-lucunya, deh.

Anyway, saya dan papi saya yang-kadang-ingin-saya-kirim-ke-Kutub-Utara-dalam-kotak-sereal itu tinggal di Malang, cuma berdua, karena saya anak tunggal (tanpa menghitung adik saya yang imut itu). Saya sebenarnya sama sekali nggak keberatan papi sering ninggalin saya sendirian. Cuma, papi saya itu kadang suka seenaknya sendiri. Kalau mau pergi-pergi nggak pernah pamit, kalaupun pamit pasti dengan ninggalin pesan dalam secarik kertas yang ditaruh di tempat-tempat yang nggak wajar.

Apa maksudnya di tempat-tempat yang nggak wajar? Saya akan menjelaskan.

Pernah sekali, waktu saya kelas 2 SMP (omong-omong, sekarang saya kelas 1 SMU), saya baru tahu kemana papi pergi TIGA HARI setelah secara teknik saya menyadari papi telah raib (cuma karena saya udah hapal kebiasaan pergi-tanpa-pamit papi itulah yang mencegah saya langsung ke kantor polisi terdekat untuk bikin laporan orang hilang), sewaktu saya dengan tanpa prasangka mengambil kamus bahasa Inggris yang saya letakkan di rak buku di tumpukan paling bawah dan menemukan secarik kertas yang diselipin di dalam kamus itu yang berisi pesan papi sebagai berikut:

Papi ke Lombok sampai tanggal 9 bulan depan. Uang saku buat kamu udah papi taruh di bawah kasur papi. Jaga rumah baik-baik, ya.

Love You,

Papi

Dan waktu saya mengkonfrontasi pesan itu, dua minggu kemudian pas orangnya pulang, dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun papi berkilah,

“Kan biar kertasnya nggak ketiup angin,”

“Angin dari Suriname?” kata saya jengkel, “Kamar Ari kan ketutup rapet banget gitu! Lagian, kalo papi emang punya waktu buat nyelipin pesan di kamus DAN naruh uang di bawah kasur, mestinya papi juga masih sempat ngelakuin hal lain yang lebih berguna, kan? Kayak NGASIH TAHU ARI LANGSUNG??!”

Sejenak, papi tampak mengerutkan kening, sebelum menyahut seolah baru mendapat pencerahan, “Iya juga, ya?”

Heh.

Kebiasaan papi itu sama sekali nggak berkurang meskipun saya memprotes, membujuk, maupun mengancam papi. Papi terus aja ninggalin pesan di tempat-tempat nggak lazim, kayak di bawah tumpukan baju di dalam lemari, ditempel di bagian dalam mesin cuci, di bawah tivi. Saya sampai udah nggak bisa kaget lagi dimanapun papi naruh pesannya. Nggak canggih banget, telepon ada, hape juga punya, kok bisa-bisanya masih setia pakai cara primitif kayak gitu. Tapi hape papi juga sia-sia banget dibeli. Kalau nggak lupa ngidupin, pasti lupa nge-charge baterainya. Payah memang.

Dan kebiasaan papi itu terulang lagi pagi ini, walaupun pesan yang papi tinggalin kali ini benar-benar di tempat yang cukup wajar—ditempel di pintu kulkas. Kali ini papi ke Sidoarjo selama 2 hari. Sebenarnya nggak ada masalah, kalau aja hari itu saya nggak bangun kesiangan. Biasanya saya ke sekolah dianter papi, kalau pas papi ada di rumah, jadi bangun jam segitupun saya masih bisa nyampe sekolah tepat waktu. Tapi berhubung papi kumat lagi kebiasaan nggak mutunya, saya terpaksa ‘ngangkot’. Dan melihat rute angkot yang harus saya naiki untuk bisa sampai ke sekolah, sepasti matahari yang udah terbit, saya bakalan terlambat. Belum lagi kejadian-kejadian-nggak-penting-tapi-sanggup-bikin-kerusakan-saraf-parah yang mengiringi kepanikan saya di pagi hari nan cerah itu.

Beginilah kronologis cerita selengkapnya:

waktu

aktivitas

06.00

Nemuin pesan papi, berharap punya sesuatu semacam granat untuk dilempar ke foto papi yang tergantung di ruang tengah—dan langsung mohon ampun ke Tuhan karena udah mikir yang nggak-nggak.

06.02

Di kamar mandi, berjuang melawan air sedingin air kulkas, karena dengan teganya keran air panas pakai macet segala.

06.10

Memakai seragam abu-abu putih, mengaca sembari sisiran, dan terpaku selama sedetik sebelum mencoba untuk nggak membuat seragam saya sobek sewaktu membukanya kembali untuk menukarnya dengan seragam pramuka, baru ingat kalau sekarang hari Jumat.

06.15

Siap berangkat, berhasil menyambar roti di atas meja makan, berusaha untuk mengabaikan warna mencurigakan yang melapisi sang roti.

06.15.55

Sampai di pintu, lari kembali ke dalam waktu mendengar telepon berdering, sempat nabrak pinggiran meja, tapi nggak ada waktu buat teriak kesakitan.

06.16.20

Teleponnya salah sambung.

06.17

Berlari di jalanan kompleks perumahan

06.18

Balik lagi ke rumah karena lupa ngunci pintu dan menggembok pager.

06.20

Berlari di jalanan kompleks perumahan, nyaris dicium mobil boks yang nyelonong tanpa permisi dari belokan dengan kecepatan yang kayaknya kepingin nyaingin Mario Andretti. Sopirnya teriak-teriak marah, saya bales teriakin. Ngapain amat mobil boks keliaran di kompleks perumahan?!

06.25

Menunggu angkot di pinggir jalan

06.26

Masih menunggu angkot

06.28

Masih menunggu ang ...... oh, ada yang lewat satu. Eh, sialan, penuh.

06.45

Ijo-ijo lumutan, tapi ada satu angkot yang berhenti, dan saya naik.

Bel masuk berbunyi 15 menit yang lalu.

06.55

Angkotnya berhenti untuk nyari penumpang, alias ngetem.

07.05

Angkotnya jalan lagi setelah saya pindah ke kursi di belakang sopir dan memelototi si sopir tanpa ampun.

07.25

Sampai di sekolah dengan selamat, setelah si sopir blangsak berhasil membalas dendam dengan menyopir ugal-ugalan sampai saya terlempar kesana-kemari di dalam angkot.

07.26

Menatap penuh damba pada gerbang sekolah yang sudah tergembok rapi.

07.27

Melaksanakan strategi andalah setiap siswa yang terlambat: Manjat Pager!

07.35

Sukses melewati pager, mendapatkan dua goresan panjang di lengan dan betis, ditambah rok sobek sepanjang tiga senti-an sebagai suvenir.

07.36

Ketahuan Pak Satpam.


bersambung yah....

Lanjutan dari cerita ini tergantung dari permintaan pasar.
Hihihihih..... narsis dot com!!

1 komentar:

si Dhee2nk mengatakan...

good....
lagi lagi lagi....
lanjutin... lanjutin... lanjutin....
pengalaman pribadi kali masalah telat...!!!hehe
tapi dulu untung ada temennya yang pake shogun item n biasanya lewat veteran dan merasa iba... huakakakakak