Kamis, 28 Oktober 2010

English is My Second Language

As we all know, salah satu penyebab kota Gresik bisa sepanas panci nasi tiap harinya adalah karena letaknya yang dekat dengan laut. Karena letaknya yang dekat dengan laut itulah tidak heran kalau pelabuhan menjadi salah satu sektor ekonomi yang sangat penting bagi kota ini. Dan sebelum kalian semua pada nguap bin ngorok karena mengira saya bakalan berorasi masalah perekonomian negara atau sejenisnya, saya akan memberitahukan alasan kenapa saya menyinggung-nyinggung masalah pelabuhan segala macem (enggak, saya nggak berniat gantiin pak Hatta Rajasa).

Jadi gini, karena pelabuhan Gresik banyak digunakan oleh banyak perusahaan sebagai tempat bongkar pasang barang dari kapal yang bukan saja berasal dari Indonesia, tetapi juga dari luar negeri, sudah bisa ditebak kalau para personel yang terlibat dalam kegiatan bongkar muat barang kapal itu (baca: awak kapal) juga tidak hanya berasal dari Indonesia saja. Dan ada kalanya, sebagai manusia biasa dan normal, para awak kapal non-Indonesia itu terkadang bisa sakit juga.

Dan disinilah ceritanya dimulai.

Rumah sakit tempat saya kerja sering banget kedatengan pasien-pasien awak kapal ekspatriat itu. Macem-macem deh asalnya, yang dari Filipina, Malaysia, Thailand, mpe Myanmar juga ada. Karena para ekspatriat itu pada nggak bisa bahasa Indonesia, makanya perusahaan biasanya menyediakan guide buat mereka untuk menerjemahkan. Parahnya, "guide" disini jangan diartikan seseorang yang mengerti dan paham bahasa si ekspat dan sekaligus faseh bahasa Indo. Tidak, sama sekali tidak, kawanku.

Para tukang becak yang banyak berceceran di tiap sudut kota Gresik adalah para oknum yang sering mendapat job sampingan yang kedengarannya lumayan bergengsi ini. Beneran, saya enggak bohong. Buat jadi guide gag perlu pinter bahasa Inggris, bahkan gag perlu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang penting adalah menguasai bahasa Tarzan dan kliwon-nya si Buta dari Gua Hantu.

Saya pernah kena kejadian dengan para ekspat eksentrik itu. Bukan hanya sekali malahan. Sekali waktu saya pernah menghadapi seorang pasien dari Myanmar yang namanya Zaw Lin Oo, cowok umur sekitar 30-an tahun gitu yang daftar berobat ke poli umum. Dia didampingi sama guide yang--sialnya--bukan tukang becak, tapi sama-sama ekspat yang dari tampang sama dielek acak-adutnya, keknya asalnya dari India. Ini apanya yang guide seeehhhh????
Dan beginilah dialog yang terjadi pada waktu itu.

Saya                  : its fifteen, Sir
Guide dari India  : whahhhaawrr?? (gitu pokoknya kedengerannya) 
Saya                  : (mengeja pelan-pelan) fif-teen, li-ma-belas ribu
Guide dari India  : whivvtyyn?? whivvtyyn whhaadd?? thhousand? millionndzz??
Buset dah ni bule. Dokter umum macam apaan yang sekali berobat bayarnya limabelas juta??
Saya                  : (mengeja dengan lebih keras-keras) fif-TEEN, Sir, FIFTEEN THOUSAND RUPIAHS only. FifTEEN, not fifty.
Guide dari India  : (manggut-manggut kek boneka dari India) oooh... I zeehh...I zeehhh...
Terus dia ngomong bla-bla-bla in what-so-ever bahasa sama si Zaw Lin Oo, dan si Zaw-zaw ngeluarin duit dari dompetnya, dikasih ke si India, dan si India ngasih ke saya.
Guide dari India  : heeerzz... 
Tau gag doski ngasih berapaan? SERATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH

Hoooo-heeeee....bisa cepet kaya saya kalo pasiennya kek gini semua.

Tidak ada komentar: